SAMPAH TERINDAH
- Jawa Pos 2015 -
Ini cerpen pertama saya yang dimuat di koran lokal di tahun 2015. Seneng ? jelas iya seneng. Bayangin udah banyak banget kirim cerpen dan karena hampir putus asa, saya pun berhenti berlangganan beli koran setiap hari minggu dan berhenti nulis cerpen hingga seseorang mengirim email bahwa cerpen saya telah dimuat. orang tersebut bukan dari orang surat kabar tersebut, tapi dari orang lain yang pengen tanya sesuatu "hal" di luar dunia kepenulisan.
Ini loh cerpennya:
Bejo
kata orang jawa itu bermakna beruntung. Tapi siapa sangka Bejo yang saat ini sudah
berusia hampir kepala lima masih juga belum memiliki rumah yang layak. Mungkin
keberuntungannya bukan di materi. Sepertinya keberuntungan juga tidak berpihak
pada cintanya. Hampir lebih dari tiga puluh tahun mengarungi mahligai rumah
tangga, Munasiroh belum melengkapi kehidupannya besama Bejo dengan seorang
anak.
Tidak
berbeda dengan karir Bejo. Dewi fortuna pun sepertinya enggan memberikan
sedikit peruntungan kepadanya. Sampai detik ini Bejo masih setia mendorong
gerobak kuningnya. Memungut sampah dari satu rumah ke rumah lainya sudah
menjadi rutinitas Bejo. Bau busuk dan sampah berlendir sudah tak jadi masalah. Menjadi
tukang sampah berpenghasilan rendah nampaknya sudah mendarah daging dalam
kesehariannya.
Munasiroh
pun tidak tutup mata. Munasiroh menjalankan profesi ke duanya setelah mejadi
ibu rumah tangga, yaitu sebagai pemulung. Tahu bahwa mencari nafkah adalah
kewajiban Sang Suami, ia tetap setia membantu Bejo mengumpulkan rupiah. Upah
dari ketua Rukun Tetangga yang terkumpul dari iuran warga untuk Bejo yang
berjasa memungut sampah mereka tidak cukup untuk membuat dapur mengepul setiap
hari, terutama di ibu kota seperti itu.
Pagi
itu setelah mereka mengisi perut dengan nasi dan lauk ala kadarnya berteman
tahu dan tempe goreng, kadang juga telor dadar, Munasiroh mengisi ulang botol
bekas dengan air putih untuk Bejo sebagai bekal pelipur dahaga saat mendorong
gerobak sampahnya.
Sampah
nyatanya menjadi sebuah ladang untuk mengais rezeki mereka berdua.
“Aku
mau ke lapangan pak nanti?” kata Munasiroh sambil memberikan botol air putih
yang telah ia isi ulang.
“Ngapain
ke sana bu?” tanya Bejo kepada isterinya.
“Ada
orkes pak di sana, mungkin aku bisa ngumpulin banyak nanti,”
Bejo
terdiam tidak mengiyakan atau melarang istrinya pergi ke lapangan. Ia tahu
betul kebiasaan warganya apabila ada orkes dangdut di lapangan itu. Keisruhan
dan kerusuhan sering terjadi pada para penonton yang mudah mengamuk jika
terkena senggol sesama penikmat orkes membuat Bejo berpikir sejenak.
“Nggak
apa-apa pak, ibu mungutnya setelah orkes selesai pak,” bujuk Munasiroh dengan
semangat.
Semangatnya
itu bukan tanpa alasan. Setiap kali warga yang berduit punya hajat dan
menyelenggarakan orkes dangdut sebagai wujud penunjukan status sosial berdampak
berserakannya botol-botol air minum dan gelas-gelas air mineral kosong di
sekitar area orkes. Itu petanda hasil yang di dapat dri memulung akan lebih
banyak dari biasanya. Rupiah yang di dapat dari pengepul juga akan lebih besar
dari biasanya.
“Ya
sudah, hati-hati tapi ya bu,” pesan Bejo yang akhirnya megijinkan isetrinya itu
mulung di lapangan hari itu.
Bejo
sadar dirinya belum bisa memberikan kehidupan yang layak untuk isterinya. Ia
bahkan berasumsi bahwa Tuhan tidak mengaruniakan mereka seorang anak karena
kemiskinannya. Hidup pasrah dan rasa syukur selalu mewarnai kehidupan Bejo dan
Munasiroh. Meskipun hidup dengan penuh kekurangan, Munasiroh tidak pernah
sekalipun mengeluh-eluhkan masalah tersebut di hadapan Bejo. Itulah salah satu
alasan Bejo begitu mencintai isteri dan pekerjaannya sebagai tukang sampah.
Sampah
dari tong demi tong di setiap sudut depan rumah warga Bejo tuang ke dalam
gerobak kuningnya dengan jiwa ikhlas dan bahagia setiap langkahnya. Semakin
menggunung sampah yang dikumpulkan dalam grobaknya maka semakin berat bebannya
dan butuh tenaga lebih untuk mendorongnya ke tempat pemungutan sampah.
Panas
terik nampaknya mendukung orkes siang itu. Di lain tempat Munasiroh medang
menunggu di bawah pohon yang tumbuh di tepi lapangan. Ia melihat para lelaki
sedang di mabuk dengan alunan musik dangdut dan suara Sang Biduan. Mengamini
pesan suaminya, ia menunggu sampai orkes selesai dan warga bubar untuk mulai
memulung.
Para
penonton yang menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berjoget nampaknya tidak
menujukan tanda-tanda kelelahan dari siang sampai menjelang sore hingga
tiba-tiba langit berubah menjadi gelap. Cahaya-cahaya kilat sesekali muncul di
antara awan hitam. Semut-semut berkaki dua berlarian pulang ada pula yang sibuk
mencari tempat berteduh tepat setelah orkes berakhir.
Bulir-bulir
air dari langit jatuh membasahi tanah lapang yang kering sehingga membuat bau
anyir menyebar. Tidak disangka hujan turun sangat deras sore itu. Munasiroh
melupakan tempat berteduhnya kini. Ia segera memulung mengumpulkan sampah botol
bekas dan gelas plastik bekas yang tersebar di hamparan tanah lapangan ia
memandang. Munasiroh sekalipun tidak memperhatikan gertakan suara petir yang
menggelegar sore itu. Ia tidak akan
melepaskan kesempatan emas yang seharian ini ia tunggu.
Bejo
memandang langit yang gelap karena mendung. Ia bergegas pulang ke rumah dan
mengira isterinya mungkin juga sudah sampai di rumah melihat awan yang seakan
siap menumpahkan air hujan. Gerobak sampahnya yang kosong terasa ringan ia
dorong membuatnya semakin cepat melangkah pulang.
Sesampianya
di rumah, Bejo memanggil-manggil Munasiroh. Tapi tak terdengar jawaban isterinya
itu. Tak ada jawaban tanda Munasiroh belum kembali dari lapangan. Ia ingin
sekali menyusul Munasiroh ke lapangan. Ia tahu bahwa di dunia ini ia hanya
memiliki Munasiroh seorang dan tidak ada yang lain. Tidak diragukan lagi betapa
besarnya rasa khawatir yang dideranya saat ini.
Sejenak
ia ragu karena melihat langit yang tampak galak saat itu. Hujan lebat dan petir
yang menggelegar membuat angan Bejo berasumsi. Mungkin isterinya tidak berani
memulung sampah dengan cuaca seperti ini. Mungkin Munasiroh saat ini sedang
berteduh di suatu tempat yang dekat dengan lapangan.
Sementara
Bejo beradu asumsi dan rasa khawatirnya, Munasiroh tampakya sangat bersemangat
memungut satu demi satu botol-botol bekas di hadapannya dan memasukkanya ke dalam
sebuah karung plastik using miliknya. Hingga satu cahaya kilat terlihat
menyambar dan menerangi samudra langit yang gelap sebegitu terangnya. Cuaca
sangat mencekam dan Munasiroh diam terhenyak melihat cahaya kilat tersebut.
Tubuhnya menggigil kedinginan dan ia sadar bahwa sedang mengabaikan perintah
langit untuk berteduh.
Ia
berlari mencari tempat yang aman. Sebuah warung kopi yang yang ditinggal
pemiliknya sore itu menjadi tempat persembunyiannya dari guyuran hujan deras.
Tidak lama setelah cahaya kilat yang ia lihat menghilang, suara gemuruh petir
terdengan cetar menggelegar memekikkan telinga terdengar. Munasiroh melepas
genggaman karungnya yang terisi hampir separo botol bekas dan menutup telinganya.
Setelah
suara petir berlalu ia mendengar suara yang nampak ganjil jika terdengar di tengah
ramainya hujan mengguyur. Suara tangisan bayi. Munasiroh mengesampingkan rasa
takutnya dan menfokuskan pendengarannya. Suara air hujan yang jatuh menabrak
setiap elemen di bumi baik tanah, genteng, aspal mengganggu konsentrasinya.
Suara
tangisan bayi itu semakin menjadi-jadi. Ia memandang setiap sudut sebisanya ia
memandang di tengah lebatnya hujan. Munasiro berusaha keras mencari sumber
suara tersebut sampai muncul sebuah petunjuk. Dilihatnya sebuah kardus tidak
jauh di sebelahnya. Kardus yang tergeletak di atas tong sampah pemilik warung
kopi.
Tikus,
kucing angin atau bayi dan apapun yang menggerakah kardus tersebut berkecambuk
dalam benaknya mengaduk-aduk rasa penasarannya dan menarik perhatian Munasiroh.
Ia mendatangi tong sampah tersebut. Tong sampah berwarna biru tak bergeming
meskipun kardus di atasnya bergoncang. Tertutup namun gocangan dalam kardus
semakin menjadi-jadi. Ia buka kardus tersebut dan ia melihat sosok mungil
dibungkus dengan sehelai handuk berias beberapa bercak darah menyelimuti bayi
tersebut.
Munasiroh mengambil
bayi tersebut dari dalam kardus dan dengan hati-hati. Ia menyelipkan satu
lengan di bawah kepala dan lengan lainnya menyangga punggung bayi yang ia
temukan tersebut. Melihatnya takjub dan rasa luar biasa bahagianya.
Ia mendekap bayi tersebut berusaha menghangatkan bayi temuan tersebut sampai
terdengar suara langkah kaki berlari mendekatinya. Ia melihat seseorang berlari
menghampirinya. Di tengah tengah derasnya hujan mata Munasiroh menerawang
mencoba menembus bayangan orang tersebut.
Semakin
dekat mebuat hati Munasiroh tambah khawatir. Mungkinkah orang yang
menghampirinya itu juga mendengar tangisan bayi tersebut atau mungkin jangan-
jangan orang tersebut adalah orang tua bayi yang saat ini ia gendong dan ingin
membawanya pulang kembali? Bukankah bayi yang dalam dekapannya telah dibuang?
Berbagai pertanyaan memenuhi kepala Munasiroh
saat ini. Wajahnya yang takut akan kehilangan bayi yang baru ia temukan
tiba-tiba memudar saat ia tahu suara langkah kaki tersebut adalah Bejo suaminya
yang kini ada dihadapannya.
Bejo
menatap isterinya dengan perasaan lega bahwa Munasiroh berada dalam kondisi
baik-baik saja. Pandangannya beralih pada sesuatu yang dibawa Munasiroh.
Ekspresinya pun berubah tak kalah takjub melihat seorang bayi yang terdekap
dalam dada Munasiroh. Ternyata asumsinya saat di rumah bahwa isterinya akan
berteduh benar adanya dan ditambah kehadiran sang bayi membuatnya perasaan
leganya kini bercampur rasa khawatir dan penasaran.
“Ia
dibuang, aku menemukannya di sana,” kata Munasiroh sambil menunjuk tempat
sampah dimana ia menemukan bayi itu.
Bejo
melihat ke arah tempat sampah berwarna biru yang ditunjuk Munasiroh. Bejo
mendekati bayi yang digendong isterinya tersebut. Mengusap-usap kepala bayi
yang lembut tersebut dengan tangan telunjuknya yang kasar.
“Dia milik kita,” kata Bejo terbata-bata.
Inilah
keberuntungan Bejo yang tidak hanya sekedar sebuah nama. Siapa sangka Bejo dan
Munasiroh akan menemukan seorang bayi dalam keikhalasannya selama berpuluh-puluh
tahun dalam memungut sampah.
Komentar
Posting Komentar