Langsung ke konten utama

Puisi-Puisi Alam dan Cinta


Minggu, 1 November 2015

Saya bukan orang yang melankolis. Nggak ngerti puisi itu apa dan sering nggak “ngeh” kalau baca puisi orang. Sampai suatu hari ada seseorang yang membuat saya jatuh cinta dengan diski-diksinya yang bikin nge-jleb dan ngena banget di hati.
Kadang saya berfikir, “kayak gini loh seharusnya puisi – sambil nunjuk karyanya beliau yang rajin diposting di media sosial”. Tapi kadang juga saya berfikir “atau mungkin saya nya aja ya yang nggak nyampe pemahamannya sama puisi-puisi yang nggak sengaja saya baca di beberapa koran [alias ilmu pengetahuan saya yang standar biasa-biasa aja]. Hehehe
Saya ucapkan terima kasih sebelumya kepada bapak penginspirasi saya yang akhirnya nekat coba-coba menggoreskan pena dan menyusun diksi menjadi sebuah puisi menurut saya. Saya Luar Biasa Seneng karena:
1.      Jelaslah seneng karena ini puisi pertama saya yang dimuat di koran.
2.      Entah itu Cuma kebetulan, salah satu puisi saya isinya adalah isi hati yang terdalam tentang kerinduan bumi yang dibasahi oleh air langit alias hujan. Gile bener, panas banget karena musim kemarau yang we o we saat itu. Ajaibnya, tepat setelah puisi saya terbit besoknya langsung hujan deres banget dan apa yang saya bayangkan yang tertuang di puisi itu benar-benar menjadi nyata.
3.      Poin nomor dua jangan dihiraukan, itu memang hanya kebetulan.
4.      Saya bersyukur dalam satu waktu dua keinginan saya terkabul, puisi dimuat dan hujan datang dengan ramainya gemercik air yang asyik berlompatan di atas genteng-genteng rumah.
I love it.

Ini dia puisinya, Awas loh ya ikut hanyut :D 



Tak Seharusnya

Aku memandang langit
lalu kupandang wajahmu
ternyata sama cerahnya
sama menyejukkan hati.

Aku mencintai senja
cahaya emas dan hangat merata di aspal
gatal tangan menggengam tanganmu
mengajak berkenalan padanya, senja.

Kurasa aku telah jatuh hati
tersenyum sendiri
di pojok sepi
menertawakan tunas rasa suka.
­­­
Kadang cemburu pula saat engkau bersamanya
bersama kesibukan yang menyita waktumu bersamaku
kadang rindu yang tak seharusnya ada pun ikut campur
menggalaukan hati.
Ah! Kenapa harus kamu?

Masa lalu, 2014

Cerita Langit

Merahnya langit seperti murkanya surya pada dunia
tanda malapetaka datang katanya.

Ketika jingga menyebar,
mata mulai melukis cerita
mencipta fantasi membangun harapan.

Biru memutih, terhirup udara damai melalui lorong hidung
menyejukkan hati meneguhkan langkah.

Cahaya bias menguning memutih lalu memanas
puncak semangat beradu keluh keringat kesah dan lelah.

Nilanya langit
angan malayang mulai merindunya.

Ungu menjelma.
Awas, alkisah setan demit gencar berburu mangsa.

Lalu langit menghitam bertabur emas,
lukisan indah semesta
penghibur jiwa yang tenggelam dalam keheningan.

September, 2015

Hujan

Rindu gemercik air menerobos genteng bocor.
Rindu tanah tandus yang remuk lalu luluh lembek becek.
Rindu bau khas tembok-tembok menyerap cipratan air langit.

Saat hati disayat kering berkepanjangan.
Saat banyak belukar terbakar mencipta kepulan asap di sana sini.
Saat pak tani terkulai lelah menunggu musim tandur.

Apalah daya alam tak lagi mudah ditebak
galau kini merata tak hanya dirasa pemuda pemudi
tetapi warga juga turut merindu hujan membumi

Oktober , 2015

Komentar