Minggu 29 Mei 2016
Ini cerpen kedua saya.
Meski belum bisa dimuat skala nasional, setidaknya saya bisa bilang gini ke ibu
“Bu, coba lihat, (sambil nunjuk koran) ini loh namaku dimuat di koran gara-gara
ngirimi cerpen, keren opo ora?” hehehe....
Seneng
bisa bikin ibu bangga dan senyum ngece gitu di dapur. Jujur ya cerpen ini
terinspirasi dari bagaimana saya melihat karyawan yang kerja di pabrik kena PHK
oleh perusahaan karena banyak faktor termasuk diantaranya penilaian kinerja atau
karena efisiensi perusahaan.
Kalau nggak tega denger cerita-cerita
memilukan, jangan di baca ya, tapi kalau kepo, silahkan dibaca dan selamat menikmati
cerita di bawah ini:
Cerita ini bermula ketika
Anita merengek kepada ibunya minta utuk dibelikan laptop. Lagi –lagi ibu Maria
harus menghela nafas panjang petanda hafal sudah permintaan putri semata
wayangnya itu. Kejadian yang menyayat hatinya selalu terulang setiap malam
ketika Anita pergi meninggalkannya yang terlihat jelas mengabaikan setiap nasehatnya
karena laptop yang dinginkan Anita belum kunjung terbeli.
Ibu Anita bekerja sebagai
buruh di pabrik sabun. Kesehariannya ialah mengayak bahan-bahan kimia yang
memiliki bau menyengat dan kadang-kadang membuat kulitnya melepuh. Dirinya yang
sudah tua menunjukkan tanda-tanda keriput ditambah dengan pekerjaannya
sehari-hari membuat tangannya terasa sangat kasar.
Tak heran jika tangan
seorang perempuan yang seharusnya lembut tidak tergambar di guratan telapak
tangan ibu Maria. Jika sedang beruntung, ia kadang terbebas dari pekerjaannya
tersebut dan beralih ke bagian pengemasan.
Pagi itu setelah breafing, para mandor selalu memberikan
arahan kepada para buruh mengenai target yang harus dicapai. Bel tanda masuk ke
ruang produksipun berbunyi. Tangannya yang lihai dan cekatan memasukan sabun
cair ke dalam pouch dengan ukuran 500
ml itu akhir-akhir ini mengalami penurunan target. Biasanya dalam sejam ibu
Maria mampu filler deterjen hingga
200 pouch, namun dalam seminggu ini
kecepatannya menurun antara 170-180 pouch
per jam. Tak pelak teguran dari kepala mandor pun mengampirinya di penghujung
hari kerja sore itu.
“Maaf, apa ibu sakit?”
tanya pak Joko kepala mandor di bagian filler
liquid.
“Tidak pak, saya sehat,”
jawab Ibu Maria kebingungan.
“Jika ibu sehat, kenapa
target ibu dalam seminggu ini menurun?”
Tiba-tiba ibu Maria
teringat papan penilaian bahwa kinerjanya buruh yang sudah hampir seminggu ini
ia lupakan. Ia terlalu bingung memikirkan permintaan Anita yang memintanya
segera dibelikan laptop untuk menunjang aktifitas perkuliahannya. Jika
targetnya selalu turun maka kemungkinan masa kontrak kerjanya dalam bulan ini
tidak akan diperpanjang dan kemungkinan keinginannya untuk membelikan laptop
untuk Anita pun juga akan ikut kandas.
“Saya baik-baik saja pak
Joko, maafkan saya dan saya berjanji hal ini tidak akan terulang lagi,” jawab
ibu Maria dengan wajah memelas.
“Baiklah kalau begitu,
ibu adalah karyawan senior di sini. Saya harap ibu bisa bekerja dengan baik,
saya hanya tidak ingin ibu kehilangan kontrak di akhir bulan nanti gara-gara
target ibu tidak terpenuhi,” begitulah kata Pak Joko memperingatkan sambil
memberikan upah kerjanya selama seminggu dalam sebuah amplop cokelat.
Ibu Maria menerimanya dan
berjalan terhuyung-huyung keluar dari ruangan pak Joko. Bagaimana ibu Maria
bisa membelikan Anita laptop dengan upah Rp 350.000,- per minggu sedangkan uang
ini hanya cukup untuk makan dan uang jajannya anaknya itu?
Keesokan hari ia terlihat
lebih murung dari biasanya.
“Aku dengar kamu kena
marah pak Joko ya bu?” tanya Ningsih teman seprofesinya.
“Iya Ning, aku bingung,”
“Lah bingung karena apa
bu?”
“Anakku Ning, minta
dibelikan laptop tapi aku masih belum punya uang. Uang tabungangku sudah habis
buat biaya pendaftaran kuliahnya, katanya hampir semua teman dikelasnya
memiliki laptop dan hanya dia saja yang belum punya,” kata ibu Maria sedih.
Diam sejenak dan
menghembuskan nafas panjang kemudian ia melanjutkan curhatannya.
“Inginku ya membelikan
dia laptop, ya membahagiakan anak, ingin kuliahnya lancar, tapi bagaimana ya
Ning, upah yang aku dapat itu hanya cukup untuk makan sehari-hari,”
“Bu Maria ada apa?”
tiba-tiba pak Joko menghampiri Ningsih dan Bu Maria yang sedang mengumpulkan
hasil deterjen yang telah mereka filler
ke dalam sebuah bak besar.
Mereka berdua kaget bukan
kepalang dengan kehadiran pak Joko.
“Oh, tidak pak, bukan
apa-apa,” jawab bu Maria gugup.
“Ingat bu Maria, kalau
sedang kerja dilarang bicara, nanti saja ngobrolnya saat jam istirahat,” kata
pak Joko memperingatkan ibu Maria dan Ningsih.
Sungguh apes. Kemarin
sudah kena peringatan, pagi ini pun saat baru memulai bekerja juga sudah kena
teguran yang ke dua kalinya. Bu Maria takut membayangkan apabila pak Joko
mengadukannya ke kepala produksi dan kontraknya tidak akan lagi diperpanjang.
Ningsih hanya bisa
membisu dan menatap kasihan teman disebelahnya itu. Lagi-lagi ibu Maria
menghela nafas panjang sambil membalas tatapan Ningsih, dengan melirik
nelangsa. Sepanjang hari ia memilih bekerja sambil membisu. Bu Maria berusaha
fokus untuk bekerja secepat dan serapi mungkin seperti biasa untuk memenuhi
target yang ditentukan oleh pak Joko agar ia tidak terkena tegur yang ke tiga
kalinya.
Ibu
Maria menuju ke ruang istirahat untuk mengambil tas dan sandal jepitnya. Saat
ia hendak melangkah tiba-tiba ada yang mencolek lengannya dari samping. Ia
menoleh dan melihat Ningsih juga sudah siap untuk pulang ke rumah.
“Pulang
bareng ya bu?” pinta Ningsih.
Ningsih
dan ibu Maria pun berjalan bersama melewati pintu gerbang pabrik sambil menyapa
satpam yang biasa berjaga.
“Bu
Maria, yakin mau membelikan Anita laptop?”
“Inginku,
Ning, tapi aku tidak punya uang sekarang, kenapa?”
“Mendingan
jangan dulu bu,”
“Lah,
kenapa Ning?”
“Dollar
lagi edan sekarang bu, kata anakku
dollar sekarang lagi naik,”
“Apa
hubungannya dollar dengan laptop Ning, lagian aku kan tidak beli laptop di luar
negeri,” kata bu Maria dengan sedikit tertawa.
“Loh
ada hubungannya bu, kata anakku kalau dollar naik maka alat-alat elektronik
juga cenderung ikut naik. Kemarin dia dapat uang dari abangnya yang habis
pulang dari Malaysia untuk beli laptop juga. Tetapi katanya beli nanti saja
soalnya dia baru semester tiga masih jauh yang mau nyusun skripsi. Anakku
bilang mau beli laptopnya pas dollar lagi turun dan rupiah mulai menguat lagi
bu,” kata Ningsih menjelaskan panjang lebar akan permintaan anaknya itu.
Sedari
tadi bu Maria yang ingin mengacuhkan Ningsih kini menjadi antusias dengan
penjelasannya mengenai dollar dan laptop. Ia manggut-manggut mencoba mencerna
apa yang baru saja dijelaskan oleh Ningsih barusan walaupun tidak sepenuhnya
mengerti. Mungkin dengan alasan dollar inilah ia mampu meredam permintaan Anita
untuk menunda dulu membeli laptop sampai dollar turun seperti kata Ningsih dan
sampai dia punya cukup uang juga untuk mewujudkan keinginan anaknya itu.
“Anakmu
kuliah jurusan apa, Ning?” tanya bu Maria penasaran.
“Aku
tidak tahu, tapi katanya dia di Fakultas ekonomi bu,”
Sesekali
ia memandang langit yang mulai menguning tua. Tanpa sadar pikirannya
berandai-andai jika saja anaknya juga mengambil jurusan yang sama seperti
anaknya Ningsih, mungkin ia tidak perlu setiap hari merengek-rengek minta ini
itu kepada ibunya. Mungkin juga bisa memahami kondisi perekonomian keluarganya
saat ini. Apalagi buruh paling tua yang masih setia bekerja sejak pabrik itu
berdiri hingga saat sekarang tanpa sang suami yang menemani kini.
Tanpa
terasa langkah mereka sudah sampai tepat di depan gang rumah ibu Maria tinggal.
Pabrik deterjen tempat ia bekerja memang jaraknya tidak begitu jauh dengan
perkampungan tempat ia dan Ningsih tinggal.
“Aku
duluan ya Ning, terima kasih penjelasanmu mengenai dollar. Tolong kabari aku ya
jika dollar sudah turun,” kata bu Maria saat berpisah dengan Ning di
persimpangan.
“Oke
bu, siap,” sahut Ningsih yang melanjutkan perjalanannya pulang ke rumah.
Langkah
ibu Maria sore itu pelan namun pasti tanpa keraguan. Hari ini untuk pertama
kalinya ia merasa tenang karena sudah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi
pertanyaan Anita yang sepertinya sudah menjadi hobi merengek menanyakan kapan
dirinya akan dibelikan laptop.
“Jangan
sekarang, kata teman ibu di pabrik tadi dollar sedang naik, jadi kalau kamu mau
beli laptop entah itu yang bagus atau jelek harganya semuanya masih sangat
mahal. Sabarlah sebentar, jika dollar sudah turun dan ibu sudah punya uang
nanti pasti ibu belikan,” kata bu Maria menjelaskan kepada anaknya.
Kali
ini Anita tidak membantah penjelasan ibunya malam itu. Alasan yang dilontarkan
oleh ibunya terdengar begitu ilmiah. Bu Maria pun bisa bernafas lega melihat
ekspresi Anita yang terlihat mengerti entah itu kondisi ekonomi global yang ia
jelaskan barusan atau kondisi keuangan keluarganya saat ini.
“Bagaimana
kondisi dollar saat ini, Ning,” tanya bu Maria seolah olah Ningsih adalah pakar
ekonomi yang mengamati setiap pergerakan kurs dollar.
“Masih
menguat bu, nanti jika sudah melemah akan ku beri tahu,” jawab Ningsih pasti
kala sore itu dalam perjalanan pulang bersama dari pabrik.
“Kira-kira
kapan dollar akan melemah ya Ning, kira-kira apakah akan sangat murah jika membeli
laptop jika dollar turun?”
“Aku
tidak tahu bu begitu-begituan, aku tahunya ya tentang dollar itu bu, itu pun
aku di kasih tahu anakku,” jawab Ningsih sambil sedikit menertawakan dirinya
sendiri.
Bu
Maria melihat ekspresi teman kerjanya itu dan beberapa saat kemudian ia juga
ikut tertawa.
“Oh
iya kata anakku, mungkin satu minggu ini dollar akan cenderung menguat soalnya
pengaruh dari dari FED yang mau menaikkan suku bunga bu Maria,”
“Siapa
FED?”
“Aku
tidak tahu, nanti akan akan aku tanyakan anakku siapa FED itu,” kata Ningsih
terakhir sebelum mereka berpisah di persimpangan jalan.
Setidaknya
seminggu ini dirinya akan tenang menghadapi rengekkan Anita berkat FED. Namun
berapa lamanya waktu seminggu berlalu. Waktu terasa sangat cepat dan ibu Maria membutuhkan
Ningsih untuk mengumpulkan alasan lagi untuk menunda membelikan laptop Anita
karena belum memiliki uang.
“Kabar
gembira bu Maria,” sapa Ningsih pagi itu saat berpapasan di pintu masuk pabrik.
“Kabar
apa?”
“Dollar
kini melemah dan Rupiah sudah cenderung menguat, kata anakku pemerintah sedang
mengeluarkan paket kebijakan ekonomi,”
“Hmmm,”
bu Maria hanya menjawab dengan berguman. Di dalam hatinya sebenarnya ia kecewa
karena meskipun dollar telah turun ia masih belum memiliki cukup uang untuk membeli
laptop.
“Tidak
tahu aku Ning, bingung,” kata bu Maria saat mereka berdua memasuki ruang
produksi.
Hari ini hari jum’at.
Hari yang indah karena upah buruh selalu dibayar setiap akhir pekan.
“Bu Maria, maafkan saya,”
kata pak Joko saat ibu Maria mengambil upahnya.
“Mungkin ini upah
terakhir dari perusahaan,”
“Loh kenapa pak?” tanya
bu Maria terkejut.
“Minggu depan kontrak ibu
sudah habis dan sepertinya perusahaan tidak akan memperpanjang kontrak kerja
ibu lagi karena pertama mengingat usia, kami mungkin akan merekrut karyawan
baru yang lebih muda dan cekatan dan yang kedua karena akhir-akhir ini ibu
sering melanggar beberapa aturan kerja di pabrik ini,” kata pak Joko
memperjelas.
Wajah ibu Maria yang
bahagia kini tampak pucat pasi disertai ngilu di hatinya.
“Oh iya ini ada sedikit
tambahan buat ibu dari perusahaan mengingat ibu adalah karyawan yang paling
lama bekerja di sini,”
Bu Maria pun tak sanggup
berkata-kata lagi selain mengucapkan terima kasih dibalut kesedihan saat
menerima uang tambahan tersebut. Ia kemudian melangkah terhuyung-huyung
meninggalkan kepala mandornya itu. Untuk terakhir kalinya ia memandang wajah
pabrik tempat ia bekerja sebelum meninggalkan pabrik itu selama-lamanya.
Sesampainya di rumah
untuk pertama kalinya ia tidak menghiraukan pertanyaan Anita yang saat ini juga
tertarik mengenai kabar dollar. Ia hanya memilih diam sembari sesekali
memandang putri semata wayangnya sambil membayangkan, bagaimana ekspresi
anaknya itu jika mengetahui bahwa ia kini sudah tidak bekerja lagi. Akah dia
akan berhenti merengek dibelikan laptop? Tapi apakah tega ia mengingkari
janjinya itu. Buaknkah ia sudah berjanji untuk membahagiakannya, menunjang
kebutuhannya.
Ia memilih masuk ke
kamar. Ia sungguh tak sabar ingin membuka amplop putih tersebut. Ia mengira
mungkin isinya sejumlah dua atau tiga kali upah yang biasa ia terima dengan
pecahan mata uang berwarna biru tua. Dengan hati-hati ia merobek ujung amplop
tersebut dan pelan-pelan ia mengeluarkan isinya. Lembar demi lembar ia hitung
dengan sangat teliti. Air matanya tiba-tiba mengembeng di pelupuk matanya.
Jumlah uang pesangon yang ia terima ternyata lebih dari dugaanya. Dengan
perkiraan yang muncul dibenaknya mengatakan kemungkinan uang ini cukup untuk
membeli laptop yang selama ini Anita butuhkan.
Keesokan harinya saat
Anita akan berangkat pagi itu, heran melihat ibunya yang belum bersiap-siap
berangkat kerja.
“Ibu, tidak berangkat
kerja? Kok masih pakai daster?” tanya Anita.
“Ibu libur, nak,” jawab
ibu Maria santai sambil keluar rumah membawa sapu.
Anita melihat jam dinding
di ruang tamu sebenarnya ingin bertanya panjang lebar ke ibunya. Tetapi
mengingat waktunya sudah hampir telat pagi itu maka ia memutuskan untuk
terlebih dahulu berangkat kuliah dan akan menanyakannya nanti setelah ia
pulang.
“Loh bu Maria, tidak
kerja?” tanya Ningsih heran saat menjemput rekan kerjanya itu.
“Tidak, Ning. Aku sudah
berhenti kerja karena kontrakku sudah habis,”
“Loh apa tidak
diperpanjang sama perusahaan?”
“Tidak, katanya aku sudah
terlalu tua untuk memenuhi target, ada apa? Tumben engkau menjemputku sepagi
ini,” tanya ibu Maria
“Oh, aku ke sini
pagi-pagi karena ingin memberitahumu bahwa dollar kini menguat lagi, kata
anakku nilai rupiah memang tidak stabil, mungkin engkau bisa membeli laptop
Anita bulan depan saja,”
“Ah dollar lagi ya,” kata
bu Maria yang kemudian tertawa.
“Sebaiknya kau segera
berangkat sebelum pak Joko mengetahui kau datang terlambat hanya karena
memberitahuku tentang dollar. Engkau tidak perlu mengkhawatirkan aku atau
laptop Anita lagi, karena mungkin tahun depan akan menyusul kakakku ke Arab,”
“Ngapain ke sana bu?”
“Karena rupiah sering
melemah, seperti katamu,” kata ibu Maria yang kemudian tertawa lepas lagi.
“Jadi TKW, Ning.
Pengennya ngumpulin dollar yang sangat banyak tapi dapat real dari Arab juga
tidak apa-apa pokoknya Anita tidak sampai putus kuliah,” lanjut ungkap ibu
Maria mantap pagi itu.
Terima
kasih
#Penulis yang hobi makan rujak cingur
Komentar
Posting Komentar